Setelah tertunda-tunda beberapa waktu
lamanya, akhirnya rencana kami untuk mendaki Gunung Tambora, 2851 mdpl di Pulau
Sumbawa dapat terealisasi juga. Puncak
Tambora dapat dicapai dari beberapa jalur, diantaranya melalui desa Pancasila
(jalur yang paling umum dilalui para pendaki), desa Doropeti (jalur yang
relatif baru) dan desa Doromboha (biasa disebut jalur off road karena sampai
pos 3 dapat dilalui dengan motor trail atau jeep, dari pos 3 ke bibir kaldera
ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 2jam)
Rencana awal kami adalah mendaki melalui desa
Doropeti kemudian turun via desa Pancasila, namun akibat terlalu lama browsing mengenai letusan
Gunung Tambora tahun 1815 yang dinyatakan sebagai letusan terdahsyat yang
pernah dicatat dalam sejarah, sampai membentuk kaldera dengan diameter sekitar
7km membuat kami agak terobsesi dengan kaldera.
Sebaris kicauan yang kami temukan menginformasikan bahwa kaldera Tambora
memang dapat dituruni sampai ke dasarnya menguatkan niat kami untuk menjelajah
dasar kaldera Tambora dan menyambangi Doro Afi To’i atau Gunung Api Baru yang
terbentuk di dasar kaldera.
Sayangnya 2 nomor ponsel pemandu yang kami peroleh dari
rekan-rekan sesama pendaki, yaitu Bang Adun (Dompu) dan Bang Jon (Doropeti)
sudah tidak aktif lagi sehingga kami tidak bisa memperoleh detail jalur yang akan kami lalui untuk mencapai
kaldera serta perlengkapan yang harus dibawa.
Satu-satunya informasi yang kami miliki adalah untuk menemui Pak Harris
yang bertugas di Kantor Pengamatan Gunung Tambora yang berada di belakang
Puskesmas Pembantu Doropeti.
Menuju ke Doropeti, tibanya di Calabai
Senin, 3 Desember 2012 :
Jakarta-Denpasar dengan pesawat Air
Asia, tiba di Denpasar sekitar pk. 18:00 WITA. Kami sempat mampir di supermarket untuk mengisi
perbekalan dan makan malam kemudian langsung diantar oleh kakaknya Otong ke pelabuhan
Padang Bai,
Selasa, 4 Desember 2012 :
Tiba di Padang Bai pk. 23:45, dari pelabuhan
Padang Bai menuju pelabuhan Lembar, ferry berangkat setiap 2 jam, kami langsung
naik ferry yang berangkat pk. 00:15 dan sampai di Lembar sekitar pk. 05:00 pagi.
Pelabuhan Lembar – Terminal Mandalika,
Bertais, Cakranegara, naik angkutan umum dengan biaya Rp.15.000, lama
perjalanan sekitar 30menit
Dari terminal Mandalika ke desa Doropeti,
naik bus jurusan Calabai/Kadindi. Bus pagi berangkat pk. 10:00 dan bus siang
berangkat pk. 15:00 (tidak on time tentunya dan banyak sekali calo di terminal
Mandalika sehingga perlu berhati-hati dan jangan terburu-buru membayar
bus-nya). Lama perjalanan sekitar 15 jam,
ongkosnya Rp.120.000, penumpangnya tidak terlalu penuh tapi bus bolak-balik
berhenti menaikkan penumpang dan barang, Barang yang diangkut jumlahnya sangat
banyak, termasuk 2 sepeda motor yang diikat di belakang bus, sementara
barang-barang lainnya, termasuk carrier kami ditaruh di atas bus
Sore hari kami menyerberang ke Sumbawa
melalui pelabuhan Khayangan (Lombok Timur) menuju ke pelabuhan Poto Tano
(Sumbawa Barat), lama penyeberangan sekitar 2.5 jam. Dengan menambah Rp.5000 di
ferry, bisa masuk ke ruangan VIP, lumayan lah ada matras dan ac, diputarkan
film lama Harrison Ford dan kondisi nya cukup bersih
Setibanya di Sumbawa, bus bolak-balik
berhenti menurunkan penumpang dan barang, sehingga kondisi di bus mulai sepi,
Sekitar pk. 22:00 bus tiba di Cabang Banggo dan mengambil arah ke kiri, menuju
Calabai. Kantuk pun mulai menyerang dan
kami semua tertidur dengan sangat tidak nyenyak karena kondisi jalan mulai
bergelombang dan pak sopir memutar lagu India dengan bersemangat.
Rabu, 5 Desember 2012
Kami dibangunkan sekitar pk. 03:30, langsung
turun dan menerima carrier yang dioper dari atas bus dengan agak bingung dan
ngantuk, sekitar kami remang-remang, hanya ada beberapa lampu yang menyala … “Itu
puskesmas nya”, kata si abang kenek bus sambil menunjuk ke seberang jalan dan
segera kembali melaju meninggalkan kami.
Karena tidak ada yang bisa dihubungi
dan hari pun masih gelap, maka kami memutuskan untuk menunggu pagi di teras
puskesmas, menggelar beberapa jas hujan, dan menyelesaikan kantuk yang tersisa.
Pk. 06:00, kami terbangun mendengar
suara motor, ternyata mbak Ririn yang bertugas di puskesmas mendapat panggilan
mendadak dan sangat terkejut melihat kami, setelah berkenalan dan minta ijin,
kamipun meneruskan istirahat
Pagi itu, kami menuju ke
Kantor Pengamatan Gunung Tambora yang terletak tidak jauh di belakang
Puskesmas, dan ditemui Bang Jaya karena Pak Harris sedang tidak ada di
tempat. Ternyata Bang Jaya ini urang
Bandung, dan seneng ketemu temen satu kampung, jadi setelah kami menyampaikan
maksud untuk mendaki Tambora via Doropeti, muncak di puncak Doropeti lalu
muncak di puncak Pancasila, kemudian turun ke kaldera, dengan bersemangat
beliau mencarikan pemandu, memperlihatkan film tentang ekspedisi ke kaldera
Tambora 2009 yang dilakukan oleh Mr, Erik, dan berbagi cerita tentang
Tambora.
Ternyata Bang Jon yang
diharap-harapkan bisa memandu kami sedang berada di gunung, dua orang pemandu lain yang kami temui juga tidak
bisa memandu karena yang satu tidak bisa berbahasa Indonesia dan yang seorang
lagi sedang sakit, kedua nya pun tidak bisa diharapkan karena tidak ada
yang tahu jalur dari puncak Doropeti ke puncak Pancasila, dan tidak ada seorang
pun dari mereka yang bisa memandu menuruni kaldera.
Bang Jaya sempat pula menghubungi Bang
Ipul di KPATA, desa Pancasila, tapi di sana pun tidak ada yang tahu jalur
memotong dari Doropeti ke Pancasila apalagi turun ke kaldera.
Beruntung akhirnya Bang Jon bisa
dihubungi, namun beliau menolak memandu, karena baru sore nanti beliau akan
turun, terlalu capek katanya, lagipula beliau juga tidak tahu jalur turun ke
kaldera, tapi kemudian Bang Jon memberitahu bahwa ada kelompok yang pernah mencapai dasar kaldera, yaitu kelompok GAMPPING dari Calabai, namun karena Bang Jaya tidak
memiliki kontaknya maka beliau menyarankan untuk naik dari Pancasila dan
kembali turun via Pancasila, that’s final … huhuhu … nangis kuciwa deh kitaaaa
…..
Kembali ke puskesmas dengan patah
hati, kami berkemas untuk kembali naik bus menuju ke Calabai lalu meneruskan ke
Pancasila … Saat menunggu bus, kami iseng menghubungi Bang Jon, melalui nomor barunya dan ternyata beliau malah memberikan nomer ponsel seorang anggota
GAMPPING yaitu mbak Eci.
Semangat timbul lagi setelah
menghubungi mbak Eci, yang menyatakan meskipun belum tentu ada yang bisa
memandu kami menuruni kaldera karena sedang ada kegiatan diklat, namun GAMPPING
memang pernah mencapai dasar kaldera dan mbak Eci juga berjanji akan menanyakan apakah
ada yang bersedia memandu kami.
Bus yang kami tunggu-tunggu akhirnya
datang juga pk. 12:00, segera kami menaiki bus, membayar ongkos dan tertidur
hingga akhirnya bus berhenti. Sialnya meskipun
tertera besar di jendela bus tulisan DOMPU-CALABAI, perjalanan bus tidak berakhir di
Calabai melainkan di Kedindi! Calabai sudah terlewat sekitar 10km … LOL …
untungnya ada seorang bapak yang menawarkan untuk naik mobilnya karena beliau
akan kembali ke Dompu, dan ngobrol punya ngobrol ternyata beliau sempat pula
kuliah di Universitas Parahyangan, Bandung dan ikut kegiatan MAHITALA … haha …
Bandung memang TOB!!
Sampai di Calabai, ponsel tidak mendapatkan signal, sehingga kami tidak bisa
melakukan kontak lagi dengan mbak Eci. Kamipun berhenti di lapangan bola,
karena nampak sekelompok orang sedang melakukan latihan fisik, dan ternyata memang benar,
anggota GAMPPING sedang berkumpul di sana, melaksanakan diklat dan sudah
menantikan kami.
Setelah kenalan singkat kami menuju ke
sekretariat GAMPPING, 100m dari lapangan bola, di sana kami berbincang dengan Bang
Chris, wakil ketua GAMMPING yang merintis jalur menuruni kaldera Tambora sejak
tahun 2004 hingga akhirnya berhasil turun sampai ke dasar kaldera tahun 2009. Bang Chris menyatakan mampu memandu kami
menuruni kaldera Tambora, tapi karena mereka kurang hafal dengan jalur dari
desa Doropeti maka kami harus naik dan turun melalui desa Pancasila, dan tentu saja
dengan senang hati kami menyetujuinya.
GAMPPING sendiri merupakan kependekan
dari Generasi Muda Penjelajah Rimba dan Pendaki Gunung merupakan kelompok
pencinta alam yang ngetob di Calabai, kegiatan utamanya adalah berusaha untuk
memajukan pariwisata di daerahnya, baik dengan memandu pendakian ke Gunung
Tambora maupun memandu eksplorasi pantai dan pulau di sekitarnya. Mereka juga melakukan penanaman kembali hutan yang sempat digunduli akibat pengambilan kayu secara besar-besaran beberapa tahun silam
Karena malam itu Bang Chris harus
berangkat ke Dompu, maka ia tidak bisa memandu kami, dan kami diperkenalkan dengan
Bang Edi yang akan menjadi salah seorang pemandu kami.
Kami pun diajak menginap di rumah Bang Arifin, ketua GAMPPING. Setelah berkenalan dengan ibu mertua Bang
Arifin, Bang Edi mengajak kami ke dermaga, dan akhirnya bertemu dengan mbak Eci
di sana.
Calabai merupakan sebuah desa di ujung
teluk Saleh. Dari Calabai biasanya turis
menyeberang ke Pulau Moyo yang terkenal keindahannya dan Pulau Satonda, pulau
kecil yang unik dengan danau air asin di tengahnya. Dermaga di Calabai ternyata sangat indah,
airnya luar biasa jernih, terlihat pulau Moyo dan pulau Satonda di kejauhan,
akhirnya kami menyewa sebuah kapal motor untuk jalan-jalan sore di laut. Di bagian tengah perairan terdapat terumbu
karang yang terlihat sangat jelas di dalam air yang sejernih kaca, dan berwarna
biru kehijauan.
Duh, bening banget airnya |
Ternyata generasi muda di Calabai ini
bukan hanya pencinta alam yang pendaki gunung, mereka juga pencinta lautan dan
memiliki kelompok yang disebut KOMPPAK (Komunitas Pencinta Penyu dan Karang)
yang kegiatannya antara lain menyelamatkan penyu dengan mencoba menetaskan
telurnya kemudian melepaskannya kembali dan melakukan transplantasi terumbu karang.
Bang Edi mengajak kami ke
tempat dimana mereka melakukan rehabilitasi terumbu karang. Usaha ini tentunya bukan usaha yang instan
terlihat hasilnya, perlu waktu puluhan tahun untuk menumbuhkan kembali terumbu
karang yang rusak, sehingga kami terkagum-kagum dengan niat dan tekad mereka
Setelah puas berjalan-jalan dengan
boat bahkan Otong sempat snorkeling segala, kami kembali ke rumah Bang Arifin
untuk beristirahat. Bang Edi dan Onci, adiknya, yang akan menjadi pemandu kami berjanji
menjemput kami jam 08:00 untuk memulai petualangan ke kaldera
Sunset di Calabai |
Petualangan yang sesungguhnya
HARI 1, Kamis, 6 Desember 2012
Pukul 08:00 teng, Bang Edi muncul membawa
carrier, setelah mengurus ini itu, belanja itu ini, makan pagi, berkenalan
dengan Onci dan berpamitan akhirnya kami bertujuh berangkat menuju desa
Pancasila dengan menggunakan pick up.
Perjalanan ke desa Pancasila kira-kira 40menit. Di sana kami menemui Bang Ipul di sekretariat
KPATA, mengisi buku tamu dan langsung memulai perjalanan dengan jalan
kaki.
Perjalanan dari desa Pancasila menuju
Pintu Rimba melalui kebun kopi, ada juga sih kebun papaya … malah kita sempat
dibekali papaya oleh seorang petani.
Lama perjalanan dari Pancasila ke Pintu Rimba sekitar 1 jam 20 menit, jalan
tanah cukup menanjak, rusak namun cukup lebar karena sering dilalui kendaraan.
Bak Penampungan Pintu Rimba |
Tiba di Pos Pintu Rimba sekitar pukul 11:30, di sini terdapat sebuah shelter, kami beristirahat sejenak dan menengok tempat penampungan air yang bentuknya unik melalui jalur di sebelah kanan pos.
Pos1 |
Setelah itu kita langsung belok kiri
menuju ke Pos 1, melewati jalur yang sedikit lebih landai tapi rimbun dengan
semak-semak. Dari Pos Pintu Rimba ke Pos 1 memakan waktu 1 jam 10 menit. Di Pos 1 juga terdapat sebuah shelter dengan
tempat duduk yang nyaman, air juga mengalir melalui pipa di drum plastik
penampungan air di sebelah kiri pos, kami memutuskan untuk makan siang di sini.
Bak Penampungan di Pos 1 |
Siang itu panas cukup terik, sehingga
jalan menuju ke Pos 2 yang mulai banyak ditumbuhi pohon-pohon yang agak tinggi
rasanya lebih nyaman dilalui, sayangnya kenyamanan itu harus dibayar dengan
banyaknya pacet yang minta ikut ke Pos 2.
Pos 1 ke Pos 2 ditempuh dalam waktu 1.5 jam. Di Pos 2 juga terdapat shelter dengan bangku
panjang seperti di halte bis yang kemudian kami sadari bahwa itu memang halte
tempat pemberhentian pacet, tempat kami melepaskan pacet yang menempel di kaki
dan di sela-sela sepatu, masing-masing mendapatkan sekitar 20-30 ekor pacet
yang sebagian sudah gendut-gendut.
Sekitar 10m dari Pos 2 kami melewati
sebuah sungai kecil, airnya bisa diminum meskipun rasanya kurang enak, katanya
sih karena mengandung sedikit belerang.
Lokasi Camp di Pos 3 |
Jalur dari Pos 2 ke Pos 3 mulai
menanjak, banyak melewati pohon-pohon tumbang, bahkan menyeberangi pohon
raksasa yang membujur di jalan. Lama
perjalanan sekitar 2 jam, Pos 3 merupakan tempat untuk nge-camp, karena cukup
datar dan lebar. Terdapat sebuah shelter
di sini. Mata air terdapat di jalur di
sebelah kanan pos, cukup jauh juga. Mata airnya terdapat di sebuah ceruk dan
sangat kecil debit nya, Tidak seperti biasanya saat itu airnya tidak terlalu
jernih.
Hari mulai gelap ketika kami membangun
tenda, namun udaranya tidak dingin, dan begitulah, kami memasak makan malam,
beristirahat dan bersantai sambil menikmati bintang terang yang bertaburan
HARI 2, Jumat, 7 Desember 2012
Tujuan kami hari ini adalah camp di
tebing dekat puncak, karena mata air terakhir yang akan kami lalui ada di Pos 5
yang letaknya tidak terlalu jauh, maka kami berangkat lebih siang, agar tiba di
tebing sebelum maghrib demi menghemat air.
Tumbuhan Jelatang yang berduri |
Pukul 10:00 barulah kami memulai
perjalanan ke Pos 4. Jalurnya ditumbuhi
tanaman Jelatang atau Snip Snap yang daunnya berduri, rasanya sakit seperti tersengat
apabila tersentuh durinya. Ke Pos 4 hanya memakan waktu sekitar 45menit, tidak
ada shelter di sini, hanya sebuah tempat yang lapang dan miring di tengah kebun
Snip Snap, dan juga dipenuhi cemara. Kami
beristirahat di Pos 4 cukup lama, disini ada signal sehingga para pencari
signal terpuaskan hasrat nya untuk bertelepon ria.
Sekitar pukul 13:00 kami melanjutkan pendakian
ke Pos 5, meskipun jalur mulai menanjak, namun bisa dicapai dalam waktu sekitar
1 jam. Di Pos 5 tidak terdapat shelter,
hanya sebidang tempat datar yang tidak terlalu luas, hanya cukup untuk 2
tenda.
Air di Pos 5 |
Terdapat tempat penampungan air
alami di jalur turun di sebelah kanan pos, yang berupa ceruk yang terisi air di
bekas aliran lava. Airnya berwarna agak
hijau kekuningan dan berbau agak-agak aneh, tapi masih bisa diminum. Di sini kami memenuhi semua kantong air dan
botol, total sekitar 38-40 liter karena tidak akan ada mata air lagi sampai di
dasar kaldera.
Pukul 15:00 kami melanjutkan
perjalanan ke tebing tempat kami akan bermalam, vegetasi mulai berubah dari
semula cemara menjadi semak-semak, jalan tanahnya pun mulai berpasir, sampai
akhirnya kita bisa melihat Puncak Tambora dengan jelas.
L O V E |
Di cemara terakhir kami berfoto-foto ria
sambil menyaksikan matahari mulai tenggelam, sementara angin mulai bertiup
dengan kencang mendorong kami segera menuju ke tebing yang terletak tidak jauh
dari sana.
Ternyata angin kurang
bersahabat senja itu, bertiup dengan sadisnya ketika kami mulai membangun
tenda, dan tidak juga berhenti sampai pagi.
Api unggun yang dibuat Onci hanya memancarkan sedikit kehangatan diterpa
angin kencang sehingga akhirnya kami memilih untuk berlindung di tenda yang
untungnya terpasak dengan baik dan benar
HARI 3, Sabtu, 8 Desember 2012
Angin masih bertiup dengan kencang
ketika alarm berbunyi pukul 04:30 sehingga diputuskan untuk muncak lebih siang
menunggu angin reda. Tapi ternyata angin tidak juga reda ketika kami mulai
bergegas menuju puncak pukul 06:00, dan sampai di puncak sekitar 40 menit kemudian. Matahari juga tertutup kabut tebal dan sejauh-jauh mata memandang hanya warna putih yang terlihat. Sekitar 45 menit kami menunggu di Puncak Tambora, kabut sempat menipis beberapa menit dan kemudian kembali tebal sehingga
musnah lah harapan untuk narsis di puncak ,,, so sad ,,,
Puncak Tambora |
… tapi tujuan utama kami hari ini bukanlah puncak
Tambora melainkan turun ke dasar kalderanya, maka akhirnya kami meninggalkan puncak Tambora yang
putih diselimuti kabut, kembali ke tenda untuk bersiap menuruni kaldera
Setelah sarapan pagi ala kadarnya,
kami membongkar tenda, dan mulai bersiap. Pukul 10:00 kami mulai berjalan
menuju titik turun di sebelah kiri puncak, sebagian perlengkapan dan air kami
tinggal di sebuah ceruk untuk meringankan beban.
Perjalanan turun diawali dengan menuruni tiga buah tebing, tebing pertama dan kedua dilalui dengan sukses, carrier diturunkan dengan webbing, disusul pemiliknya. Tebing ketiga agak lebih sulit, berhasil dilalui dengan metode tarik celana … LOL …
Setelah itu kami menyusuri batuan yang sangat besar-besar. Angin yang semula bertiup dengan dahsyatnya menghilang digantikan panas terik luar biasa, yang ditambah medan yang agak berpasir menghasilkan rasa kering di tenggorokan mendorong untuk terus menerus minum. Air yang kami bawa sekitar 25 liter, kami tinggalkan 3 liter di bawah batuan besar yang membentuk gua untuk persediaan pulang.
Setelah melewati batuan besar kami berjalan melintasi batuan yang lebih kecil dan rapuh, mudah longsor di sini, Agak ngeri juga apalagi setelah melihat tebing di sebelah kanan kami longsor. Perjalanan turun agak lambat karena ada jalur yang longsor,
Sedianya kami akan bergerak menuju ke Doro Afi To’I namun terpaksa bergeser ke kiri sedikit. Medan yang dilalui juga makin lama makin curam saja rasanya, makin berpasir, batuannya juga makin rapuh sehingga terpaksa berjalan agak merunduk-runduk agar tidak terpeleset.
Jam menunjukkan pukul 17:30, ketika jalur menjadi sangat curam dan sulit dilalui sehingga kami terus bergeser ke arah kiri, mencari jalur yang lebih memungkinkan
. Akhirnya sesaat sebelum gelap Edy dan Otong menemukan jalur yang ‘benar’. Jalur ini melalui tebing belerang yang asli ‘PANAS GILA !!’ dan sulit dipegang untuk climb down sehingga Otong merosot turun ke bawah sementara Joni main perosotan. Akhirnya yang lain memilih memutari tebing tersebut.
Setelah tebing, tersisa 20 meter lagi menuju dasar kaldera, tapi
jalurnya melalui belerang panas yang berasap tebal.
Satu persatu mulai berlarian sambil berteriak-teriak kepanasan tapi akhirnya kami bertujuh menginjakkan kaki di dasar kaldera Tambora, 9 jam setelah mulai menuruni tebing! WOW !! What a Feeling …
Perjalanan turun diawali dengan menuruni tiga buah tebing, tebing pertama dan kedua dilalui dengan sukses, carrier diturunkan dengan webbing, disusul pemiliknya. Tebing ketiga agak lebih sulit, berhasil dilalui dengan metode tarik celana … LOL …
Setelah itu kami menyusuri batuan yang sangat besar-besar. Angin yang semula bertiup dengan dahsyatnya menghilang digantikan panas terik luar biasa, yang ditambah medan yang agak berpasir menghasilkan rasa kering di tenggorokan mendorong untuk terus menerus minum. Air yang kami bawa sekitar 25 liter, kami tinggalkan 3 liter di bawah batuan besar yang membentuk gua untuk persediaan pulang.
Setelah melewati batuan besar kami berjalan melintasi batuan yang lebih kecil dan rapuh, mudah longsor di sini, Agak ngeri juga apalagi setelah melihat tebing di sebelah kanan kami longsor. Perjalanan turun agak lambat karena ada jalur yang longsor,
Sedianya kami akan bergerak menuju ke Doro Afi To’I namun terpaksa bergeser ke kiri sedikit. Medan yang dilalui juga makin lama makin curam saja rasanya, makin berpasir, batuannya juga makin rapuh sehingga terpaksa berjalan agak merunduk-runduk agar tidak terpeleset.
Jam menunjukkan pukul 17:30, ketika jalur menjadi sangat curam dan sulit dilalui sehingga kami terus bergeser ke arah kiri, mencari jalur yang lebih memungkinkan
. Akhirnya sesaat sebelum gelap Edy dan Otong menemukan jalur yang ‘benar’. Jalur ini melalui tebing belerang yang asli ‘PANAS GILA !!’ dan sulit dipegang untuk climb down sehingga Otong merosot turun ke bawah sementara Joni main perosotan. Akhirnya yang lain memilih memutari tebing tersebut.
Satu persatu mulai berlarian sambil berteriak-teriak kepanasan tapi akhirnya kami bertujuh menginjakkan kaki di dasar kaldera Tambora, 9 jam setelah mulai menuruni tebing! WOW !! What a Feeling …
Keceriaan kami sempat terganggu rasa
cemas juga, soalnya persediaan air sudah sangat menipis, sedangkan posisi
aliran sungai di dasar kaldera berubah-ubah sehingga harus dicari terlebih
dahulu, padahal hari sudah gelap. Akhirnya kami memutuskan
membangun camp sekitar 1km dari tebing tempat kami turun, air yang tersisa
dikumpulkan dan ternyata hanya tersisa sekitar 5-6 liter, Bang Edi dan Onci
memutuskan untuk mencari air terlebih dahulu sementara kami membangun
tenda. Kami semua didera keletihan,
kehausan dan kelaparan sehingga malas bergerak, tenda pun dibangun ala kadarnya
saja, sambil berharap semoga malam itu tidak hujan. Bang Edi dan Onci yang mencari air pun sudah
kelelahan sehingga akhirnya kami memutuskan akan mencari air esok pagi saja,
malam itu kami hanya makan biscuit dan sedikit air. Untungnya ada soda kaleng yang dibikin
Lemonade oleh Yuyun, satu kaleng dibagi bertujuh dan rasanya segerr banget !!
HARI 4, Minggu 9 Desember 2012
HARI 4, Minggu 9 Desember 2012
Pagi-pagi benar kami sudah bangun dan
melihat-lihat kondisi di dasar kaldera.
Hamparan yang dilihat dari atas seperti pasir yang lembut ternyata
terdiri dari batu-batu besar dengan diameter sekitar 50cm ke atas memenuhi
dasar kaldera. Tebing belerang yang kami
lalui semalam juga terlihat menyeramkan, kuning, panas, berasap dan
mengeluarkan suara mendesis … Dengan GPS kami mencoba mengira-ira mana jalur
untuk naik, tapi dengan kondisi rawan longsor, susah juga memprediksi jalur
sendiri, lebih baik tanya saja kepada ahlinya hehehe …
Kembali ke tenda, ternyata Bang Edi
dan Onci sudah kembali dari mengambil air, airnya jernih meski rasanya agak
aneh, hangat dan kurang menghilangkan haus meski sudah diminum
banyak-banyak. Tapi yang paling penting
ada air, Yuyun Queen segera main masak-masakan, bau harum pun semerbak di udara
membuat lapar. Jam baru menunjukkan
pukul 7:30 pagi ketika kami sarapan tapi panasnya seakan-akan sudah tengah hari
saja, sehingga selesai makan kami memutuskan untuk segera membongkar tenda dan
pindah ke dekat aliran sungai sebelum hari menjadi lebih panas lagi.
Berjalan santai ke arah sungai yang
bermata air di sekumpulan cemara di antara dua buah tebing nun jauh di atas
sana memakan waktu sekitar 40menit, dan betapa senangnya kami melihat air …
segera Onci membangun bathtub di pasir dan mulai mandi-mandi, yang lain mencuci
muka dan rambut, tanpa sabun tentunya, dan menelusuri sungai.
Sayangnya panas sangat terik sehingga akhirnya kami semua hanya bisa duduk di pinggir tebing yang agak sedikit teduh sampai akhirnya Yuyun merasa bosan dan mengajak mendirikan tenda.
Sayangnya panas sangat terik sehingga akhirnya kami semua hanya bisa duduk di pinggir tebing yang agak sedikit teduh sampai akhirnya Yuyun merasa bosan dan mengajak mendirikan tenda.
Saat sedang mendirikan tenda,
tiba-tiba cuaca berubah drastis, angin bertiup kencang dan hujan mendadak turun
diiringi badai pasir yang untungnya hanya sesaat saja. Setelah tenda berdiri dan kami semua basah
kuyup, hujan mendadak pergi, menyisakan selembar tipis kabut saja … udara pun
menjadi agak sejuk sementara air sungai menjadi keruh, untungnya semua kantong
air dan botol sudah terisi penuh.
Mumpung udaranya cukup sejuk, kami
memutuskan untuk segera menjelajahi kaldera.
Tempat pertama yang kami tuju tentunya Doro Afi To’i.
Untuk mencapainya kami harus melalui 2 aliran
sungai yang tepiannya sangat berlumpur.
Doro Afi To’i tingginya sekitar 15m, dan buat saya yang tidak paham
geologi, gunung berapi baru ini berupa gundukan batu panas dan belerang,
batuannya cukup padat, bisa didaki sampai ke puncaknya. Di puncaknya tidak ada yang berbeda, tetap
batuan panas dan belerang yang berasap tebal, haha … tadinya saya pikir akan
melihat lava atau sejenisnya, tapi rupanya tidak ada hal-hal seperti itu
…xixixi …
Doro Afi To'i |
Tidak jauh dari Doro Afi To’i ada lagi
dua buah gundukan serupa yang ukurannya jauh lebih kecil. Adik-adik Doro Afi To’i itu baru terbentuk
saat Gunung Tambora dalam keadaan siaga tahun 2011 yang lalu.
Dari Doro Afi To’i kami menyeberangi
Danau Motilahalo yang saat itu dalam kondisi kering. Tanah di dasar danau yang tadinya berlumpur
sampai mongering dan pecah-pecah, mirip tanah di negeri dongeng membuat kami
semangat berfoto ria. Setelah itu kami
menuju ke sekumpulan cemara yang kalau dilihat dari puncak kaldera sangat teduh
dan indah. Ternyata sekumpulan cemara
itu juga terletak di dalam danau yang posisinya lebih tinggi sedikit, mungkin
apabila danau Motilahalo sedang penuh maka cemara-cemara tersebut akan terendam
sebagian.
Di bawah pohon cemara tersebut kami menikmati kudapan Mak Icih level 10 sampai semuanya kepedesan hehehe dan setelah itu kembali ke camp karena hari mulai beranjak petang
Danau Motilahalo |
Di bawah pohon cemara tersebut kami menikmati kudapan Mak Icih level 10 sampai semuanya kepedesan hehehe dan setelah itu kembali ke camp karena hari mulai beranjak petang
Kami mengambil jalan potong menuju
camp, melalui rumput-rumput yang terlihat lembut indah dari puncak kaldera dan
ternyata adalah padang ilalang yang tingginya sekitar 2m. Susah juga berjalan di tengah ilalang yang
makin lama makin rapat, untungnya tebing tempat camp kami mudah dijadikan
patokan, kalau tersesat di tengah ilalang kan gak lucu
Setelah makan malam, kami
beristirahat, menyiapkan tenaga untuk mendaki 1200m esok hari. Ternyata tanah di bawah kami panas juga lho,
tidak tahan panas di dalam tenda, sebagian dari kami tidur di luar tenda, dan
ternyata lucu juga rasanya, di bagian bawah amat panas, di atasnya berangin
dingin
HARI 5, Senin 10 Desember 2012 : THE
ONLY WAY IS UP !
Meskipun persediaan air melimpah dan
masih ada seperempat bagian kaldera yang belum kami singgahi, hari ini kami
harus kembali ke bibir kaldera, karena kendala waktu dan juga persediaan
logistik yang menipis. Satu-satunya
jalan adalah kembali mendaki tebing menuju bibir kaldera. Agak aneh rasanya karena biasanya pada saat
mendaki gunung, kalau capek masih bisa turun lagi, tapi kali ini berbeda, tidak
ada jalan lain kecuali naik dan naik terus.
Pukul 07:30 pagi kami mulai bergerak menuju tebing yang dinamakan tebing Aduduh, yang merupakan jalur untuk naik dan curamnya memang Aduduh.
Pukul 08:00 kami mulai bergerak naik. Awalnya kami mendaki punggungan berumput yang curam, lalu pindah punggungan menuju bagian yang berbatu. Perjalanan naik relatif lebih cepat dari perjalanan turun, namun sama sekali tidak lebih mudah.
Kembali kami menanjaki batu-batu besar dengan perlahan. Batunya sih cukup kokoh posisinya, tapi tetap saja ada beberapa batu yang kurang stabil posisinya. Tidak terbayangkan kalau satu saja batu lepas, bisa menjadi pemicu teman-temannya untuk mulai berguguran. Namun kami berhasil mencapai puncak batuan dengan selamat, dan akhirnya mecapai tebing ketiga. Tebing ketiga ini paling sulit didaki, karena posisinya vertikal tanpa adanya pijakan yang cukup kuat. Dibantu Bang Edi kami semua berhasil memanjat tebing ini, disusul carrier yang dikatrol satu persatu lalu memasuki jalur yang sempit memutar tebing. Selanjutnya tebing kedua dan pertama relatif mudah dilalui dengan bantuan webbing dan akhirnya 7 jam setelah mulai mendaki, kami mencapai bibir kaldera.
Perjalanan hari itu belum selesai,
karena kami masih harus mencapai Pos 5 dimana terdapat sumber air dan bermalam
di sana. Maka setelah repacking
barang-barang yang ditinggal di ceruk dekat tebing, kami pun melayangkan
pandangan terakhir ke arah kaldera dan bergegas bergerak menuju Pos 5
HARI 6, Selasa, 11 Desember 2012
Hari ini jadwal kami agak santai karena perjalanan turun dari Pos 5 ke Pos Pintu Rimba diperkirakan hanya memakan waktu sekitar 5 jam, beban juga sudah berkurang jauh. Sampai di Pos 2, hujan mulai turun cukup deras kemudian mereda sedikit dan akhirnya berhenti ketika kami mencapai Pos Pintu Rimba. Kira-kira 100m sebelum Pos Pintu Rimba kami bertemu dengan Bang Chris, Ade dan Chandra yang rupanya sudah menantikan kedatangan kami. Segera mereka membantu membawakan carrier dengan motor menuju desa Pancasila dimana sebuah pick up telah menantikan kedatangan kami
HARI 6, Selasa, 11 Desember 2012
Hari ini jadwal kami agak santai karena perjalanan turun dari Pos 5 ke Pos Pintu Rimba diperkirakan hanya memakan waktu sekitar 5 jam, beban juga sudah berkurang jauh. Sampai di Pos 2, hujan mulai turun cukup deras kemudian mereda sedikit dan akhirnya berhenti ketika kami mencapai Pos Pintu Rimba. Kira-kira 100m sebelum Pos Pintu Rimba kami bertemu dengan Bang Chris, Ade dan Chandra yang rupanya sudah menantikan kedatangan kami. Segera mereka membantu membawakan carrier dengan motor menuju desa Pancasila dimana sebuah pick up telah menantikan kedatangan kami
Kami berjalan santai melintasi kebun
kopi dan sempat mampir di salah satu kebun milik Pak Sunaryo yang ternyata
berasal dari Pati, Jawa Tengah, sempat disuguhi Jeruk Bali lagi, hehehe …
Ternyata kawan-kawan bermotor yang
tadinya membawakan carrier kami ke desa Pancasila kembali lagi menjemput kami,
akhirnya diboncengin juga sampai ke desa Pancasila
Malam itu kami dijamu di rumah Bang
Arifin, menunya mie tumis pakis yang so yummy, (pakis banyak dijumpai di
sekitar Pos 1), ikan goreng yang nyam nyam dan ikan kuah asam yang seger banget
… duh, yang ke sini harus coba menu ini :P
Setelah bertukar cerita, kamipun
melihat foto-foto dan bercanda, sayangnya Hung-Hung harus pulang malam ini juga
karena pekerjaan sudah menanti, akhirnya sekitar jam 01:00 subuh, Hung-Hung
berangkat ke Bima dengan mobil carteran ditemani oleh Bang Chris, dan kami pun
beristirahat supaya besok bisa berangkat ke Pulau Satonda …
Farewell
Onci |
Edi |
Kamis, 13 Desember 2012 pagi, dengan
diantar oleh Bang Arifin dan isterinya serta Bang Edi dan Onci, kami naik bus
menuju Dompu sambil bertanya-tanya dalam hati, kapankah bisa kembali mengunjungi
Calabai yang indah
Catatan :
Jalur menuruni kaldera Tambora masih
berupa jalur rintisan tanpa tanda.
Apabila berminat untuk menuruni kaldera Tambora sebaiknya menghubungi
GAMMPING di Calabai karena sementara ini hanya mereka yang punya patokan
jalurnya.
Contact Person GAMMPING :
Bang Edi – 082342697272 – FB: Edi
Pandawa Lima
Onci – 087766972021 – FB: Onci Rastafara Tambora
Bang Chris – 081353690008
Sebaiknya membawa webbing dengan
panjang minimal 5m
Biaya untuk turun ke kaldera tidak murah
untuk ukuran kantong saya, tapi ini lebih disebabkan karena harga-harga di Sumbawa pada umumnya jauh lebih tinggi daripada di Jawa, jadi ini
wajar. Sebaiknya kontak dulu dengan
pemandu sehingga biayanya bisa diperkirakan.